Khamis, 22 September 2011

Keadaan Yang Mengharuskan Mengumpat Dan Mencerca.

Dalam menafikan kebenaran-kebenaran yang diungkapkan secara terbuka oleh mana-mana pihak atau individu untuk mendedahkan keburukan pihak tertentu yang melakukan kezaliman dan kebatilan, maka seringkali pula kita mendengar jawaban-jawaban bidasan sebahagian orang terutamanya kumpulan ulamak yang mempunyai kepentingan peribadi yang mengatakan (dengan niat berusaha menutup kebatilan pihak pengupah mereka) serta bidasan pelaku-pelaku bid'ah yang dibuat hatta di mimbar-mimbar jum’aat atau di majlis-majlis tertentu :

“Jagalah lisanmu, janganlah engkau men-ghibah (mengumpat) saudaramu sendiri sesama muslim, bukankah Allah berfirman :

‘Janganlah sebahagian kamu menghibah (mengumpat) sebahagian yang lain sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?’”. (QS. Al-Hujurat : 12).

Apakah benar celotehan dan jawaban bidasan mereka ini???

Hakikatnya percakapan mereka ini adalah memperalatkan hukum yang asas ini untuk tujuan yang kotor yakni untuk menyembunyikan kebatilan juga menutup kezaliman pihak yang tertentu. Sedangkan dalam keadaan tertentu mengumpat (melakukan ghibah) terhadap golongan yang zalim ini adalah suatu tuntutan. Malah ia adalah suatu fitrah mangsa kezaliman untuk meluahkan kekejaman yang berlaku ke atas mereka dengan dan sesungguhnya Islam tidak pernah menentang fitrah manusia selagimana ia berbatas mengikut hukum syara'.
================================

Mari kita menyemak dan menikmati bersama sebahagian ucapan-ucapan emas para ulamak ahlus sunnah dalam masalah ini. Semoga Allah menampakkan yang benar itu benar dan memberi kita kekuatan untuk mengikutinya dan semoga Allah menampakkan yang batil itu batil serta memberi kita kekuatan untuk menjauhinya :

1. Imam Nawawi
rahimahullah (salah seorang ulama madzhab Syafi’i yang meninggal tahun 676 H) mengatakan dalam kitabnya “Riyadhus Shalihin” bab “penjelasan ghibah yang dibolehkan” :

“Ketahuilah bahwa ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar dan disyariatkan, yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan ghibah tersebut.

Hal ini ada dalam enam perkara :

a. Melaporkan kezaliman orang lain.
Dibolehkan bagi orang yang dizalimi untuk melaporkan yang menzaliminya kepada penguasa atau hakim dan selain keduanya daripada orang-orang yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk mengadili si zalim itu. Orang yang dizalimi itu boleh mengatakan si fulan itu telah menzalimi/menganiaya diriku.
b. Meminta pertolongan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat dosa kepada kebenaran. Seseorang boleh mengatakan kepada yang memiliki kekuatan yang ia harapkan mampu mengubah kemungkaran: si fulan itu berbuat kejahatan ini dan itu, maka dinasihati dia dan larang dia berbuat jahat. Maksud ghibah di sini adalah mengubah kemungkaran/kejahatan, jika tidak bermaksud seperti ini maka ghibah tersebut haram.
c. Meminta fatwa. Orang itu mengatakan kepada sang pemberi fatwa : ayahku atau saudaraku atau suamiku telah menzalimi diriku, apakah hal ini boleh? Bagaimana jalan keluarnya?. Ghibah seperti ini boleh karena suatu keperluan/bertujuan (yang syar’ie). Tapi yang lebih utama tidak disebutkan (individunya/namanya) Contoh : Bagaimana pendapat Syeikh tentang seorang suami atau ayah yang begini dan begitu? Hal ini juga bisa dilakukan dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan meskipun tanpa menyebut nama/individunya. Tapi menyebutkan nama/individunya dalam hal ini hukumnya boleh seperti yang akan disebutkan dalam hadis Hindun yang akan dinyatakan nanti, insya Allah.
d. Memperingatkan kaum Muslimin dari bahaya kesesatan (seseorang/kelompok-pent) dan sekaligus dalam rangka saling menasihati. Yang demikian itu mencakupi beberapa hal :

  • Mencela para perawi-perawi (hadis) atau para saksi yang tidak memenuhi syarat. Hal ini dibolehkan secara ijma’ kaum muslimin bahkan bisa jadi hal tersebut wajib hukumnya. 
  • Meminta pendapat/musyawarah orang lain dalam hal menikahi seseorang atau bergaul dengannya atau meninggalkannya atau dalam hal bermu'amalah dengannya. Maka wajib bagi yang diajak bermusyawarah untuk tidak menyembunyikan sesuatu apapun tentang keadaan orang tersebut bahkan dia harus menyebutkan semua keburukkannya dengan niat saling menasehati. 
  • Apabila seseorang melihat penuntut ilmu sering berkunjung kepada ahli bid’ah (da'ie penyesat) atau fasik untuk mengambil ilmu daripadanya dan dia membimbangi si penuntut ilmu itu akan terkena racun kesesatan orang tersebut maka wajib baginya untuk menasihati si penuntut ilmu dengan menjelaskan hakikat (akan kesesatan) sang guru/da'ie penyesat itu dengan syarat tujuannya untuk menasihati. Dalam hal ini ada sebahagian orang yang salah mempraktikkannya, dia tujuannya bukan untuk menasihati tapi karena hasad/dengki dengan orang yang ditahdzir (dighibahkan itu), yang telah dihiasi oleh syaitan seolah-olah dia menasihati tapi hakikatnya dia hasad dan dengki. 
  • Seseorang yang memiliki tanggung jawab/tugas tapi dia tidak menjalankannya dengan baik atau dia itu fasik dan lalai. Maka boleh bagi yang mengetahuinya untuk menyebutkan keadaan orang tersebut kepada atasannya agar memecatnya dan menggantinya dengan yang lebih baik atau agar hanya diketahui keadaannya saja lalu diambil tindakan hingga atasannya tidak tertipu dengannya atau agar atasannya tersebut menasihatinya kepada kebaikan.
e. Menyebutkan aib orang yang menampakkan kefasikan dan bid’ahnya seperti orang yang bangga meminum khamar, menganiayai orang lain, merampas harta dan melakukan hal-hal yang batil. Boleh bagi orang yang mengetahui keadaan orang diatas untuk menyebutkan aib-aibnya (agar orang lain berhati-hati darinya)

f. Mengenalkan orang lain dengan menyebut gelar (laqob) nya yang sudah terkenal
, misalnya Al-A’masy (yang cacat matanya), Al-A’raj (yang tempang), Al-Ashom (yang tuli) dan selainnya. Boleh mengenalkan dengan julukan-julukan di atas tapi tidak (berniat) untuk mencela/mengejeknya dan seandainya mengenalkan tanpa menyebutkan julukan-julukan tersebut ini lebih baik.
Inilah keenam perkara yang disebutkan oleh para ulama (dalam membolehkan ghibah-pent) kebanyakannya telah disepakati dan dalil-dalil keenam perkara tersebut ada dalam hadits-hadits shohih yang sudah masyhur/terkenal, diantaranya :

  • Dari Aisyah radhiallahu anha, beliau berkata : “Bahwa ada seorang yang meminta izin untuk (menemui) Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, maka baginda bersabda :
    Izinkanlah dia, dia adalah sejelek-jeleknya kerabat”. (HR. Bukhari 6054 dan Muslim 2591). Imam Bukhari berdalil dengan hadits ini dalam membolehkan ghibah terhadap para perosak (penyesat) 
  • Dan dari beliau radhiallahu anha juga, bahwa Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda : 
    “Aku kira fulan dan fulan itu tidak mengetahui sesuatupun dari agama kita” (HR.
    Bukhari 6067). Laits bin Sa’ad (salah seorang perawi hadits ini) mengatakan : dua orang tersebut termasuk orang-orang munafik. 
  • Dari Fatimah binti Qois radhiallahu 'anha, dia berkata : “Aku pernah mendatangi Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- lalu aku berkata : Sesungguhnya Abu Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku? Maka Rasulullah –shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda :
    “Adapun Mu’awiyah dia itu miskin tidak punya harta dan adapun Abu Jahm maka dia itu tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (HR. Muslim 1480).
    Didalam riwayat Muslim yang lain disebutkan: “Adapun Abu Jahm maka dia sering memukul perempuan” ini adalah penjelasan atas ucapan beliau (dia itu tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya). Ada juga yang menjelaskan bahwa maksudnya adalah sering berpergian jauh/safar. 
  • Dari Aisyah radhiallahu anha, beliau berkata : Hindun (isteri Abu Sufyan) berkata kepada Nabi –shallallahu 'alaihi wa sallam- : Sesungguhnya Abu Sufyan seorang lelaki yang bakhil dia tidak memberiku dan anak-anakku nafkah yang cukup melainkan jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya? Maka beliau bersabda :
    “Ambillah apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik” (HR. Bukhari 5359 dan Muslim 1714)

2. Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin
Rahimahullah mengatakan dalam Syarah Riyadhus Shalihin 4/99-101 ketika menjelaskan ucapan Imam Nawawi diatas :

“Imam Nawawi –rahimahullah- menyebutkan dalam bab ini hal-hal yang dibolehkan ghibah di dalamnya yaitu ada enam perkara. Ucapan beliau ini sangat baik sekali, semuanya benar dan baik” kemudian beliau menjelaskan hadis pertama yang dibawakan oleh Imam Nawawi –rahimahullah- : Sabda Nabi –shallallahu 'alaihi wa sallam- : (izinkanlah dia, dia itu seburuk-buruknya kerabat) orang tersebut memang perosak dan penyesat. Maka hal ini menjelaskan
bolehnya mengghibah para penyesat umat agar manusia lari dari kesesatannya dan agar mereka tidak tertipu.

Jika anda mengetahui ada seseorang yang sesat (dan menyesatkan) tapi dia memiliki keistimewaan gaya bahasa dan retorika dalam menyampaikan (ceramah) serta menarik manusia sehinggakan mereka tidak sedar sudah terjerumus ke dalam jaring-jaring kesesatan maka
wajib bagimu untuk menjelaskan hakikat orang yang sesat tersebut dan sebutkan keburukannya (saja) agar manusia tidak tertipu dengannya. Berapa banyak para dai'e-dai'e/penceramah-penceramah yang sangat indah dan fasih bahasanya, jika anda melihatnya anda akan terpesona dan jika dia berbicara anda akan dengan saksama mendengarkannya akan tetapi dia itu hakikatnya (penyesat umat). Maka yang wajib adalah menyingkap hakikat dan pekungnya.”

3. Imam Abu Abdillah Muhammad
bin Abdillah yang terkenal dengan sebutan Ibnu Abi Zamanain rahimahullah (meninggal tahun 399 H) berkata :

“Senantiasa ahlus sunnah mencela ahlul ahwa/bid’ah yang menyesatkan (umat), mereka melarang bermajlis dengan ahli bid’ah, mengingatkan fitnah mereka serta menjelaskan akibat buruk mereka. Dan ahlussunnah tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu ghibah.”
(Ushulus Sunnah oleh Ibnu Abi Zamanain hal. 293)

Sungguh ahlus sunnah telah sepakat sejak dahulu hingga sekarang dalam mengambil pendirian terhadap ahli bid’ah (para penyesat umat). Yang demikian itu dengan mencela dan memperingatkan umat akan bahaya mereka serta memboikot dan melarang bermajlis dengan mereka dalam rangka membendung bahaya dan fitnah para ahli bid’ah tersebut.

Ahlu sunnah menganggap bahwa menyingkap pekung mereka bukanlah ghibah yang haram. Para ulama telah mengecualikan 6 perkara dari ghibah yang diharamkan, seperti yang dikatakan dalam bait-bait ini:

Mencela bukan termasuk ghibah dalam 6 perkara
Orang yang terzalimi,
yang memperkenalkan,
yang memperingatkan
Orang yang terang-terangan berbuat kefasikan,
orang yang meminta fatwa
Dan orang yang meminta bantuan untuk membenteras kemungkaran

(Keenam hal ini sama dengan apa yang dijelaskan oleh Imam Nawawi diatas. “Ijma ulama ‘ala hajr wat tahdzir min ahlil ahwa’” oleh Khalid bin Dhohawi hal. 121)

4. Imam Ahmad
rahimahullah (Imam Ahlu sunnah) mengatakan :
“Tidak ada istilah ghibah untuk (membantah) ahli bid’ah” (Thobaqoh Al-Hanabilah 2/274)

5. Imam Ibnu Rajab Al Hambali
rahimahullah berkata dalam kitab “Syarh ‘ilal At-Tirmidzi” 1/43-44 :
(Imam Abu Isa (At-Tirmidzi) –rahimahullah- berkata: “Sebagian orang yang tidak paham akan (agama ini) mencela para ahli hadis dalam ucapan mereka tentang perawi-perawi hadis.

Sungguh kita telah mendapati banyak dari para Imam dari kalangan tabi’in membicarakan (menghina/mencela) para perawi, diantara mereka adalah Hasan Al-Bashri & Thowus mereka berdua mencela Ma’bad al-Juhani; Sa’id bin Jubeir membicarakan Tholq bin Habib; Ibrahim an-Nakho’i dan Amir asy-Sya’bi membicarakan al Harits al A’war.

Demikian pula yang diriwayatkan dari Ayyub as Sakhtiyani, Abdullah bin ‘Aun, Sulaiman at-Taimi, Syu’bah bin Hajjaj, Sufyan at Tsauri, Malik bin Anas, al ’Auza’i, Abdullah bin Mubarak, Yahya bin Sa’id al Qoththon, Waki’ bin Jarrah, Abdurrahman bin Mahdi dan selain mereka dari para ahli ilmu, mereka semua pernah membicarakan para perawi-perawi dan mendhaifkannya.

Tidaklah yang mendorong mereka dalam hal ini (membicarakan/menghibah para perawi) melainkan untuk menasihati kaum muslimin, tidak mungkin mereka hanya ingin mencela dan menghibah saja, akan tetapi mereka ingin menjelaskan kelemahan para perawi tersebut agar diketahui kaum muslimin, kerana sebagian perawi yang lemah tersebut adalah ahli bid’ah, sebagian lagi tertuduh memalsukan hadis dan sebagian lagi ada yang banyak kesalahannya. Maka para imam-imam tersebut ingin menjelaskan hakikat mereka (para perawi) dengan sebenarnya, dalam rangka menjaga agama ini dan menjelaskan hakikat sebenarnya. Kerana persaksian dalam agama (tentang hadis) lebih utama untuk diteliti dari pada persaksian dalam masalah hak peribadi dan harta”.

Ibnu Rajab berkata: “Di sini Imam Tirmidzi ingin menjelaskan bahwa membicarakan/merendahkan para perawi (Jarh wa Ta’dil) itu boleh. Hal ini telah disepakati oleh para salaf/pendahulu umat ini dan para imam-imam mereka. Demikian itu untuk membezakan mana perawi/hadis yang layak diterima dan mana yang tidak. Sebahagian orang yang tidak memiliki ilmu mengira itu adalah ghibah (yang diharamkan), padahal tidak demikian, sebab membicarakan aib seseorang jika ada maslahatnya -meskipun peribadi- dibolehkan (dalam agama) tanpa ada perselisihan lagi seperti mencela para saksi yang dusta, maka kalau maslahatnya umum untuk muslimin ini lebih dibolehkan lagi”

6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
–rahimahullah- berkata dalam “majmu’ fatawa” 28/225-232 :
Menyebut manusia dengan apa-apa yang mereka benci ada dua macam :

1. Menyebut jenis (golongan), setiap golongan yang dicela Allah dan Rasul-Nya maka wajib untuk mencela mereka, hal ini bukan termasuk ghibah.
2. Menyebut keburukan seseorang sama ada yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Boleh menyebutkan keburukan orang tersebut dalam beberapa keadaan, diantaranya: dalam rangka menasihati kaum muslimin tentang agama dan dunia mereka. Menasehati umat dalam kemaslahatan agama yang khusus dan umum adalah suatu kewajiban. Seperti menjelaskan perawi hadis yang salah atau berdusta sebagaimana yang dikatakan oleh Yahya bin Said serta Al-Auza’ie tentang seseorang yang tertuduh (memalsukan) hadits dan dia tidak hafal, maka mereka mengatakan: “jelaskan hakikat dan jati dirinya!”. Pernah seseorang berkata kepada Imam Ahmad rahimahullah : “Aku merasa berat jika mengatakan si fulan itu demikian dan demikian (dari kesesatannya). Maka Imam Ahmad mengatakan: “jika engkau diam dan akupun juga diam maka bilakah masanya orang bodoh/awam tahu mana yang benar dan mana yang salah!!!

Seperti imam-imam ahli bid’ah yang memiliki pendapat-pendapat yang bercanggahan dengan al-Qur’an dan Sunnah atau beribadah tapi bercanggahan dengan al-Qur’an dan Sunnah maka mereka ini wajib (menurut ijma' kaum muslimin) dijelaskan kesesatannya dan diperingatkan umat dari bahayanya
.

Sehinggakan pernah ditanya kepada Imam Ahmad rahimahullah : “Ada seseorang yang puasa, solat, I’tikaf dan ada orang lain yang membantah ahli bid’ah, manakah yang lebih anda sukai?

Beliau menjawab :
apabila orang itu solat, i’tikaf maka hal itu manfaatnya untuk dia sendiri tapi apabila dia membantah ahli bid’ah maka manfaatnya bagi kaum muslimin dan inilah yang lebih afdhol/lebih utama.

Beliau menjelaskan bahwa manfaatnya lebih luas bagi kaum muslimin di dalam agama mereka, yang hal tersebut termasuk jihad fi sabilillah. Menjernihkan jalan Allah, agama, manhaj serta syari’atNya dari kesesatan dan permusuhan mereka (ahli bid’ah) merupakan suatu kewajiban yang kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin.

Seandainya tidak ada yang menolak/membantah bahaya (bid’ah) nya mereka maka akan rosaklah agama ini. Dan kerosakan yang ditumbuhkan nya (bid’ah) lebih dahsyat daripada penjajahan. Kerana mereka (para penjajah) jika merosak tidaklah merosak hati pertama kali, tapi mereka (ahli bid’ah) pertama kali yang dilakukan adalah merusak hati

7. Imam Hasan Al Bashri
rahimahullah mengatakan :

“Tidak ada istilah ghibah dalam membantah ahli bid’ah”. Beliau mengatakan : “Tiga golongan manusia yang tidak ada larangan dalam mengghibah mereka, salah satunya adalah ahli bid’ah yang ekstrem dalam bid’ahnya”. Beliau juga pernah berkata: “tidak ada istilah ghibah dalam mencela pelaku bid’ah dan orang fasik yang menampakkan kefasikannya”. (ucapan-ucapan ini diriwayatkan oleh Al-Lalika’I dalam “Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah” 1/140)

8. Ibrahim An-Nakho’i
–rahimahullah- mengatakan :
“Tidak ada ghibah dalam membantah ahli bid’ah” (lihat Sunan Darimi 1/120)

9. Sufyan bin Uyainah
–rahimahullah- berkata :
“Pengekor/pengikut hawa nafsu dalam agama ini tidak ada larangan dalam mengghibahnya” (lihat “Mukhtashor Hujjah” oleh Nashr Al-Maqdisy hal.538 )

10. Abu Hamid Al Ghazali
setelah membahas masalah ghibah dalam kitabnya “Ihya’ Ulumuddin” beliau berkata :
“Ketahuilah bahwa ghibah itu dibolehkan selama untuk tujuan yang disyari’atkan yang tidak mungkin sampai kepadanya kecuali dengan ghibah tersebut, maka tidak ada dosa di dalamnya. Hal tersebut ada pada 6 keadaan”. (Ihya’ Ulumuddin 3/152)

Daripada ucapan para ulama salaf ahli sunnah di atas telah jelas bagi kita akan bolehnya mengghibah para penyesat umat dengan tujuan menjelaskan/menyingkap hakikat kesesatan mereka kepada umat ini.

Bahkan boleh jadi hal tersebut wajib (dalam keadaan tertentu), tapi perlu diketahui
bahwa mengghibah ahli bid’ah itu dibolehkan dengan syarat-syarat berikut ini :

1. Ikhlas kerana Allah
dan tujuan dari mencela/membantah ahli bid’ah adalah menasihati kaum muslimin dan memperingatkan mereka akan bahaya bid’ah mereka. Selain untuk tujuan ini maka ghibah itu diharamkan, seperti kerana permusuhan peribadi, hasad terhadap ahli bid’ah dll

2. Pelaku bid’ah tersebut menyebarkan bid’ahnya.
Jika pelaku bid’ah tersebut menyembunyikan/tidak menyebarkan bid’ahnya maka tidak boleh mengghibahnya. Kerana mengghibah pelaku bid’ah (penyesat umat) tujuannya untuk amar ma’ruf nahi mungkar dan hal ini tidak bisa dilakukan kecuali kalau bid’ahnya itu ditampakkan/disebarkan ditengah masyarakat

3. Ahli bid’ah tersebut masih hidup dan belum meninggal
. Jika orang tersebut (penyesat umat) sudah meninggal dunia maka tidak boleh mengghibahnya, kecuali jika dia memiliki buku-buku (tulisan-tulisan) dan pengikut yang memuat dan menyebarkan bid’ahnya maka wajib untuk memperingatkan umat darinya.

4. Bersikap adil dalam membantah ahli bid’ah
, menjelaskan kesesatan/kebid’ahannya tanpa berdusta/tanpa mengada-ada.
(Lihat “Mauqif ahlis sunnah wal jama’ah min ahlil ahwa’ wal bid’ah” oleh DR. Ibrahim Ar-Ruhaily 2/506-509)
(adz-Dzakhiirah al-Islamiyyah Ed 15, hal. 30-34)