Ahad, 15 Disember 2013

Fatwa Masakini Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi Berkenaan Syiah (Siri Pertama)



(Fatwa Ini  Adalah Jawaban  3 Pertanyaan - Dibahagikan Beberapa Siri ) 





(Jawaban Syaikh Yusuf Yang Pertama)
PERBEZAAN ANTARA MAZHAB SUNNI DENGAN
MAZHAB SYI’AH IMAMIYAH
Pertanyaan:
Yang terhormat, Syaikh Dr. Yusuf Al-Qardhawi -hafizahullah-

Saya bermaksud mengajukan suatu pertanyaan kepada anda, semoga anda mampu menjawabnya dengan terus terang yang boleh melegakan dada dan menghilangkan keraguan.

Kami di Mesir tidak mengenal mazhab yang lain kecuali mazhab Ahlu Sunnah wal Jama'ah yang terdiri dari empat mazhab yang sudah dikenal yang dipimpin oleh para imam. Di antaranya oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’ie dan Imam Ahmad. Penduduk Mesir menganut tiga mazhab yang pertama. Mazhab Malik di daerah Sha’id dan sebagian kota yang ada di pinggir laut Merah, dan mazhab Syafi’ie dianut oleh sebagian besar penduduk pinggiran laut Merah, dan mazhab Hanafi hanya dianut oleh beberapa orang tertentu saja yang diwarisi dari zaman kekhalifahan Utsmaniyah.

               Kami sama sekali tidak kenal yang namanya Syi’ah sedikit pun. Hal ini disebabkan kami tidak pernah bertemu dengan mereka. Setahu saya, di Mesir tidak pernah diketahui adanya orang Syi’ah walau seorang. Yang kami tahu bahwa mereka itu hanyalah orang-orang yang berlebihan di dalam mencintai dan fanatik terhadap Ahlul Bait. Sedangkan kami warga Mesir sebagaimana yang engkau ketahui cinta juga terhadap Ahlul Bait. Sebab kami memiliki beberapa jaluran Ahlul Bait yang biasa dikunjungi dan ada beberapa perayaan yang sering dirayakan. Misalnya terhadap Al-Husain, Zainab di Kaherah, Ahmad Al-Badawi di Tanta dan yang lainnya.
           
Belum pernah sama sekali ada para ulama dari kalangan Ahlu Sunnah yang memuji Syi’ah ataupun mencelanya. Oleh kerana itu, seluruh rakyat Mesir bersikap masih bodoh terhadap Syi’ah ini, sama ada dari segi akidahnya maupun pemikiran-pemikirannya. Sampailah kami dikejutkan di akhir-akhir tahun ini bahawa sebahagian warga Mesir sudah ada yang meninggalkan mazhab Sunninya dan kemudian mereka beralih menjadi pengikut mazhab Syi’ah. Sebagian mereka ada yang giat menulis di akhbar-akhbar, ada juga yang menyebarkan risalah, ada juga yang menulis buku yang berisi pandangan-pandangan condong terhadap Ahlu Sunnah wal Jamaah yang akhirnya mengajak masuk ke dalam mazhab Syi’ah. Setahu kami bahwa mazhab Syi’ah ini berbeza dengan mazhab Ahlu Sunnah yang kami fahami. Setelah beberapa pertemuan, kami tahu dari orang-orang yang berkata bahawa orang-orang itu (agen Syi’ah) bekerja atas bantuan kewangan dari Iran. Mereka selalu menyerang Ahlu Sunnah, baik dahulu maupun sekarang. Sehingga hal ini membuat kami keliru kerana kami tidak mempunyai asas pengetahuan untuk membela pada saat orang-orang Syi’ah sangat terlatih di dalam menyebarkan berbagai macam tuduhan dan mengubah-ubah perkataan dan bahkan mereka menciptakan kebohongan-kebohongan. Semua ini dilakukan dalam rangka perang terhadap Ahlu Sunnah yang masih disibukkan dengan urusan diri dan perutnya dan perpecahan dalaman yang terjadi.
           
Apakah memang ada perbezaan yang mendasar antara Sunni dan Syi’ah? Apa bentuk perbezaan ini? Bagaimana sikap Syi’ah yang sebenarnya terhadap Al-Qur`an, As-Sunnah dan para sahabat? Dan bagaimana kedudukan imam yang 12 orang itu?
           
Mengapa para ulama Ahlu Sunnah membiarkan kami tanpa dibekali pengetahuan walaupun hanya sekelumit, yang wajib diketahui oleh seorang Sunni berkenaan Syi’ah?
          
 Saya yakin bahwa para ulama mempunyai tanggung jawab yang besar di hadapan Allah SWT dan di hadapan umat. Demikian juga anda, Anda mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, sebab umat sudah percaya dengan ilmu anda, dan percaya dengan seluruh nasihat Anda, keberanian dan semangat anda terhadap agama Islam ini.

              Saya mohon, - demikian juga seluruh teman-teman saya – mendapatkan penjelasan yang sangat jelas atas masalah ini. Sehingga semuanya jelas, hati menjadi tenang dan Allah SWT akan memberikan hidayah-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.
           
Harapan kami, semoga Anda tidak mengenepikan masalah ini atau terlambat menjawabnya.  
Semoga Allah SWT melindungi anda, juga membimbing langkah anda.

Dr. Abdullah Salim (pensyarah pengajian tinggi)


Jawaban:

Segala puji bagi Allah SWT, semoga selawat dan salam tercurah kepada Rasulullah SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya dan juga kepada seluruh umatnya yang mengikuti petunjuknya. Amma ba’du, 
Sungguh, saudara telah mengupas dengan tegas di dalam surat ini, iaitu tentang luka yang kami diamkan semenjak sekian lama dan kami baru berusaha untuk membalutnya agar darah luka itu berhenti mengalir. Atau kami baru berusaha untuk memberi ubat pereda sakit yang tidak akan membasmi bakteri ke akar-akarnya. Sejak lama pula, kami telah memperingat-ingatkan untuk tidak membahas topik ini untuk menghindari perpecahan atau membangunkan fitnah yang sedang tertidur. Kami sengaja membiarkan saudara-saudara kami dari Ahlu Sunnah agar lalai, tidak mempunyai wawasan yang cukup tentang hal ini.

Padahal di sisi lain, ada kader-kader yang sedang disiapkan dan dilatih untuk menyebarkan mazhab Syi’ah di kalangan Ahlu Sunnah. Ketika ada kesempatan, dengan cepat para kader Syi’ah ini langsung memanfaatkannya. Mereka pun menebarkan jaring-jaringnya dari atas kuda mereka. Ada saja orang yang terperangkap ke dalam jaring mereka ini! Memang benar jika mereka itu (orang-orang Syi’ah) jumlahnya hanya sedikit. Akan tetapi jumlah yang sedikit mampu menjadi banyak jika terbuka kesempatan dan sebab-sebab ke arah sana (bertambah pengikut) masih ada. Tanggung jawab pertama ada di tangan kami sebagai para ulama Ahlu Sunnah yang mana kami telah berjanji di hadapan Allah SWT bahwa kami akan senantiasa menjelaskan kebenaran dan tidak akan menyembunyikannya.

Kewajiban ini menjadi kuat ketika bahaya sudah kian menjadi di hadapan kita dalam bentuk jaringan tersusun yang dipimpin oleh mereka yang bersemangat tinggi, bukan hanya sekadar kakitangan biasa. Tangan mereka membawa berbillion-billion dolar untuk tujuan ini dan di belakang mereka ada negara berideologi, kuat dan makmur yang membiayainya.
Saya telah mengikuti berbagai seminar pendekatan antara Sunni dan Syi’ah di Rabbat-Maroko, Bahrain, Damsyik dan Doha. Saya juga pernah berkunjung ke Iran dan bertemu dengan presiden Iran, seorang cendikiawan bernama DR. Muhammad Khatami. Saya juga telah bertemu dengan banyak Mullah dan Ayatullah di beberapa kota di Iran. Pada semua kesempatan ini, saya selalu menekankan kepada mereka beberapa perkara penting, di antaranya :
  1. Kenyataan tegas buat pihak Syi’ah bahwa Al-Qur`an itu (sebagaimana yang tertera di mushaf kaum muslimin saat ini) adalah firman Allah SWT yang diturunkan (untuk manusia). Al-Qur`an ini terpelihara, tidak ada pengurangan dan tidak ada penambahan sedikitpun. Tidak ada hal-hal kesamaran di dalamnya.
  2. Berhenti mencela para sahabat. Kerana para sahabat lah yang telah menukil Al-Qur`an untuk kita, meriwayatkan As-Sunnah, melakukan penaklukan damai dan Allah SWT dan Rasul-Nya telah memuji mereka.
  3. Berhenti melakukan penyebaran sebuah mazhab di sesebuah negara yang dihuni pemeluk mazhab tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Mahdi Syamsuddin dari Lubnan, ”Berhenti menyebarkan fahaman sesebuah mazhab di negara bermazhab lain” .
  4. Mengakui hak-hak minoriti, sama ada Sunni maupun Syi’ah.  
Walaupun saudara-saudara kami dari Syi’ah membenarkan ucapan saya ini secara teori, akan tetapi mereka tidak menepati janji mereka dalam praktiknya. Khususnya perkara nombor 3, iaitu berhenti melakukan penyebaran mazhab Syi’ah di negeri-negeri Sunni. Kami melihat mereka bersikap masih bodoh. Mereka memecah masuk ke masyarakat Sunni dengan memanfaatkan kekaguman Ahlu Sunnah atas sikap Syi’ah di bidang politik dan ketenteraan. Mereka menjadikan hal tersebut sebagai alat propaganda.

    Dahulu Mesir merupakan negara yang seratus persen dihuni oleh Ahlu Sunnah. Demikian juga dengan Sudan, Libya, Al-jazair, Tunisia, Moroko, dan Mauritania. Tidak ada Syi’ah di sana walau seorang, meski dahulunya Mesir dan Afrika Utara dikuasai oleh Daulah Bani Fathimiyah (Daulah Syi’ah). Akan tetapi hal ini tidak membuat rakyat Mesir menjadi penganut Syi’ah walaupun ada banyak umpan material yang ditawarkan kepada rakyat Mesir. Pada saat itu, di Mesir ada slogan seperti ini,”Barangsiapa yang berani melaknat para sahabat, maka dia akan menerima satu dinar dan kacang!” Maksudnya barangsiapa yang berani melaknat para sahabat, maka dia akan mendapatkan satu Dinar wang emas dan hadiah kacang-kacangan atau gandum (barangan keperluan dapur).
    Pada saat Shalahuddin Al-Ayyubi berkuasa di Mesir, penganut mazhab Sunni di Mesir adalah 100 %. Pada saat itu, Al-Azhar menjadi mercu tanda mazhab Sunni sampai beberapa abad lamanya. Sampai akhir tahun-tahun yang penuh ujian ini, orang ramai dikejutkan – sebagaimana yang dikatakan oleh penanya-, ada orang yang terang-terangan mengaku sebagai Syi’ah dan mendakwahkannya! Tentu, masalah ini perlu dijelaskan dan inilah saatnya dan jangan sampai terlambat. Pada saat inilah saya berkewajiban menjawab persoalan saudara penanya.

    Apakah ada perbezaan yang mendasar antara mazhab Sunni dengan mazhab Syi’ah?
    Apa saja bentuknya?

    Kami jawab: Kami melihat bahawa ada dari sebahagian orang-orang Syi’ah yang tidak mempunyai perbezaan yang mendasar dengan kami (Ahlu Sunnah). Baik dalam masalah ushul maupun di dalam masalah furu’. Contohnya adalah Syi’ah Zaidiyyah yang tersebar di Yaman. Mereka mengakui kitab-kitab Ahlu Sunnah seperti Kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan Kutubus Sittah (Kitab 6 Imam) yang lainnya, juga Al-Muwaththa, Musnad Imam Ahmad dan seluruh para pengarang kitab hadis. Sebahagian kitab-kitab Syi’ah Zaidiyah sama dengan kitab-kitab Ahlu Sunnah, sama ada di dalam hal sumber maupun isinya. Contohnya kitab Ar-Raudhu An-Nadhir yang menjelaskan seluruh hadis kumpulan Imam Zaid bin Ali RA. Tapi terdapat pula perbezaan di dalam cabang-cabang akidah, seperti perbezaan yang terdapat antara Ahlu Sunnah dengan Mu’tazilah. Akan tetapi Syi’ah Zaidiyyah tidak pernah mencela para sahabat dan juga mereka meyakini bahawa Al-Qur`an tidak terjadi pengurangan maupun penambahan dan lain-lainnya.

    Perbezaan yang dimaksud di dalam pembahasan kali ini adalah perbezaan antara Sunni dan Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyyah. Kerana mereka itulah, -maka- ada sebuah pertanyaan yang menuntut agar dibezakan antara mazhab Sunni dengan mazhab Syi’ah. Jawabannya, sudah jelas dan terang.  

    Di dalam masalah fiqh dan furu, secara praktikal tiada perbezaan ketara antara Sunni dan Syi’ah Imamiyah atau Ja’fariyah. Perbezaan fiqh kita dengan mereka sama halnya dengan perbezaan antara mazhab-mazhab yang ada di kalangan Ahlu Sunnah. Kita lihat Imam Asy-Syaukani menyebutkan mazhab Ahlul Bait di dalam kitabnya Nailul Authar. Akan tetapi, tidak ada seorang pun dari kalangan Sunni yang keberatan atas hal ini. Kerana tidak ada perbezaan yang mendasar di antara mazhab-mazhab tersebut.

    Akan tetapi, secara fiqh ada beberapa bentuk amaliyah munkarah (perbuatan munkar) yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah. Misalnya masalah ucapan tasyahud di dalam azan yang ditambah menjadi 3, dengan ucapan, ”Aku bersaksi bahwa Ali Wali Allah!” benar para ulama Syi’ah telah sepakat bahwa penambahan ini tidak ada dasarnya di dalam ajaran (fiqh) mereka. Akan tetapi hal ini dibiarkan 
    saja kerena mereka takut kemarahan bersangatan dari orang-orang awam !

    Sesungguhnya perbezaan yang mendasar di antara kedua madzhab ini (Sunni dan Syi’ah) adalah perbezaan di dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama) dan bukan di dalam masalah furu’. Oleh kerana itu, sebutan untuk perbezaan ini adalah perbezaan di antara dua golongan, iaitu Ahlu Sunnah di satu sisi dan Syi’ah di sisi yang lainnya. Perbezaan ini bukan di antara dua madzhab fiqih.

    Sikap Ahlu Sunnah terhadap firqah Syi’ah terbagi ke dalam tiga golongan.

    1. Golongan Sunni yang Mengkafirkan Syi’ah  


    Kelompok pertama iaitu orang-orang yang mengkafirkan Syi’ah dan menganggap mereka telah murtad dari Islam. Inilah pendapat orang-orang salafi secara umum. Apalagi kelompok salafi yang syadid, bukan hanya mengkafirkan Syi’ah tapi juga mengkafirkan kelompok Ahlus Sunnah lainnya yang fahamnya bertentangan dengan mereka atau orang-orang yang biasa melakukan penyimpangan-penyimpangan yang boleh ditakwilkan.

    Di antara penulis yang menuliskan masalah ini secara ilmiah iaitu buku yang ditulis oleh Sayyid Muhibbuddin Al-Khathib, seorang ahli sejarah dan pentahqiq senior yang juga pengarah Majalah Al-Fath dan Majalah Az-Zahra yang mengusung tema pemurnian Islam di zamannya. Beliau juga adalah ketua pengarang harian Al-Ikhwan Al-Muslimun dan majalah Al-Azhar untuk beberapa waktu.

    Ustaz Al-Khathib telah menulis buku berjudul, “Al-Khuthuth Al-’Aridhah allati Qama ’Alayha Din Al-Syi’ah” (Dasar-dasar yang Dipegang oleh Agama Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyah). Buku ini mengupas permasalahan yang sangat penting tentang sikap orang-orang Syi’ah terhadap Al-Qur`an bahawa Al-Qur`an telah diubah-ubah dan dikurang-kurangi. Penulis Syi’ah yang menulis buku tentang perubahan di dalam Al-Qur`an adalah Fashlu Al-Khithab fi Itsbati Tahrif Kitabi Rabbil Arbab (yang dimaksud dengan kitab adalah Al-Qur`an) karya An-Nuri Ath-Thabrasi yang kematiannya selalu diperingati secara meriah oleh orang-orang Syi’ah dan dikuburkan di dekat kuburan Imam Ali RA. 
    Beliau menjelaskan tentang sikap orang-orang Syi’ah terhadap As-Sunnah dan terhadap para sahabat, ajaran Taqiyyah dan beberapa hal lainnya. Pendek kata, mazhab Syi’ah ini mempunyai perbezaan yang sangat jauh dengan mazhab Ahlu Sunnah.
    Ustaz Muhibbuddin Al-Khathib juga menulis beberapa buku dan artikel yang berisi pembelaan terhadap para sahabat. Seperti buku yang berisi kajian dan catatan penting beliau terhadap buku yang ditulis oleh Abu Bakar bin Al-Araby tentang para sahabat yang berjudul, Al-‘Awashim min Al-Qawashim. Buku lainnya yaitu tentang catatan beliau terhadap buku Al-Muntaqadari kitab Mizan Al-I’tidal karya Adz-Dzahabi. Beliau juga menulis buku dengan judul, Bersama Generasi Pertama. Buku ini berisi penjelasan dan pembelaan tentang kedudukan para sahabat di dalam Islam, jihad serta upaya mereka di dalam membela sang Penutup para nabi. 

    Beberapa saat setelah itu, muncullah buku ulama Pakistan yang sangat terkenal, iaitu Ihsan Ilahi Zhahir yang memperluas pembahasan buku Al-Khathib tersebut. Beliau berargumentasi dengan buku-buku Syi’ah sendiri, juga melakukan pembantahan terhadap tuduhan-tuduhan Syi’ah. Sampai akhirnya beliau syahid ditembak di salah satu pertemuan yang beliau hadiri. Orang-orang Syi’ah lah yang berada di sebalik aksi penembakan beliau ini.
    Saya berpendapat bahwa di dalam masalah ini terdapat sikap berlebihan menghukumi orang-orang Syi’ah secara umum. Terutama mengenai masalah pengkafiran-pengkafiran yang melabel orang lain telah murtad dari Islam- adalah masalah yang sangat berbahaya. Sejak lama, saya telah menulis sebuah buku dengan judul, “Zhahirat Al-Ghuluww fi At-Takfir” Sikap Berlebihan di Dalam Mengafirkan Orang Lain. Saya melihat bahwa yang harus dilakukan di dalam masalah ini adalah bersikap hati-hati, melakukan penelitian terlebih dahulu dan bermusyawarah sebelum melabel orang lain dengan label kafir. Bagaimana pula halnya dengan mengkafirkan sesebuah jamaah (perkumpulan seperti Syi’ah) yang terdiri dari puluhan juta orang ?!
    Selagi ada celah untuk perkataan atau perbuatan itu ditakwil yang mampu mengeluarkan musuhnya dari kekafiran, maka sewajarnya seseorang yang alim menempuh hal itu. Sebab tidak boleh mengkafirkan orang lain kecuali dengan penunjuk yang pasti ; yang tidak mampu ditafsirkan -akan perbuatan tsbt- kecuali dengan melabelnya sebagai orang kafir, seperti telah mengucapkan sesuatu atau melakukan perbuatan kufur yang nyata. Kami berpendapat bahwa sikap moderat adalah,”Sesungguhnya mereka mengkafirkan orang secara umum (pen-secara borong) dan tidak mengkafirkan orang perseorangan (individu tertentu saja) kecuali dengan banyak syarat.” 

    Pada bahagian buku saya ini , terdapat pembahasan tentang fatwa takfir dan syarat-syaratnya. Fatwa ini adalah fatwa saya yang lama. Silakan dikaji kembali.

    Memang ada hadis tentang perpecahan umat Islam sehingga terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan yang semuanya masuk neraka kecuali satu saja. Namun hadis itu masih tetap menggolongkan firqah-firqah yang sesat dan celaka itu sebagai bahagian -dari- umat Islam ini, dan tidak mengeluarkan mereka darinya, ketika baginda -SAW- bersabda, ”UMMATKU akan terpecah belah!”

    Saya juga ingin mengatakan, sesungguhnya dari kalangan orang-orang Syi’ah ada yang ekstrim dan suka mengkafirkan Ahlu Sunnah. Kami telah menukil sebagian perkataan mereka itu di beberapa forum. Bahkan di antara mereka ada yang berani mengkafirkan para sahabat. Ada juga yang berani mengkafirkan umat Islam seluruhnya, kecuali yang tidak kafir hanya Syi’ah, seperti yang tercantum di dalam kitab Al-Anwar An-Nu’maniyah karya Syaikh Nikmatullah Al-Musawi Al-Jazairi.


    2. Orang-orang Sunni yang Melihat Syi’ah dari Sisi Politik Semata

               
    Kelompok kedua adalah kebalikan (pent - berlawana sifatnya) dari kelompok pertama yang suka mengkafirkan Syi’ah. Kelompok ini tidak pernah melihat Syi’ah dari sisi akidah dan pokok-pokok ajaran mereka yang bertentangan dengan akidah majoriti umat Islam. Mereka ini tidak mau memperhatikan Syi’ah dari sisi ajaran atau keyakinan mereka terhadap Al-Qur`an, As-Sunnah dan para sahabat. Mereka juga tidak mau memperhatikan Syi’ah dari sisi ucapan mereka yang mengatakan bahawa para Imam mereka adalah orang-orang maksum, mengetahui hal ghaib yang tidak diketahui oleh para nabi dan ucapan mereka bahawa Imamah adalah pokok ajaran Syi’ah yang barangsiapa menolaknya, maka dia dicap kafir. Kelompok ini juga tidak memperhatikan Syi’ah dalam hal tingkah laku mereka yang menyimpang. Misalnya peristiwa peringatan wafatnya Al-Husain RA setiap tahunnya dengan cara menampar pipi, merobek-robek poket baju, juga memukul dada dan punggung sampai berdarah-darah. Ritual ini terus diamalkan sehingga lebih dari tiga belas abad lamanya. Mereka juga beriman bahawasanya Al-Mahdi itu ada dan sekarang sedang bersembunyi di Sirdab dan belum keluar dari persembunyiannya sejak 11 abad yang lalu. Keyakinan semacam ini jelas menyalahi sunnatullah pada usia manusia.
                   Kelompok Sunni ini tidak menghiraukan semua akidah Syi’ah yang batil ini. Kelompok ini hanya melihat sisi politiknya saja sebagai buah dari Revolusi Imam Khomeini. Di antara yang menonjol adalah Iran berani menentang Amerika Syarikat dan anak emasnya Israel. Hal ini dibuktikan dengan adanya kelompok pejuang Hizbullah (Syi’ah) di Lubnan yang perang melawan Israel pada musim panas tahun 2006 M.
                   Oleh kerana itulah, -bagi mereka- kita mesti diam saja dan jangan membicarakan mazhab mereka (Syi’ah) dan akidah mereka juga strategi mereka untuk menumpas masyarakat Sunni dengan persiapan dana jutaan bahkan berbillion dollar Amerika yang ditunjang dengan anggota-anggota terlatih dan siap berperang, pada saat Ahlu Sunnah tidak memiliki pertahanan sedikit pun. Realiti ini persis dengan pertanyaan yang ditanyakan oleh saudara penanya, ”Sesungguhnya para ulama Ahlu Sunnah tidak membekali ilmu yang memadai untuk membendung Syi’ah dan mereka membiarkan dada para pengikut Ahlu Sunnah terbuka sehingga menjadi sasaran empuk anak panah dari kanan maupun dari kiri.”
                   Saya melihat di sini bahawa kita mesti membezakan mana siasat politik mereka dan mana ajaran atau akidah mereka. Kita hanya mendukung dari sisi politik mereka melawan Amerika dan Israel. Kita juga hanya mendukung Iran dari sisi pengembangan nuklear dan kita akan menolak segala bentuk campur tangan  atas hak mereka di dalam pengembangan reaktor nuklear. Kita juga berdiri dengan segala kekuatan kita untuk melawan Amerika jika mereka melakukan serangan ketenteraan terhadap Iran. Inilah yang saya terangkan dengan sangat jelas, alhamdulillah. Saya katakan, ”Kita akan melawan Amerika jika Iran diserang!” Ucapan saya ini telah disiarkan oleh stesen tv milik Iran. Melaui telefon, mereka memuji saya dalam hal ini dan mengucapkan terima kasih. Perlu dicatat, saya tidak mengucapkan kecuali sesuatu yang saya anggap sebagai kebenaran !

                   Saya pun mendukung tentera Hizbullah sewaktu mereka perang melawan Israel. Saya juga telah membantah fatwa salah satu ulama kanan Saudi iaitu Syaikh Jibrin di dalam program TV Al Jazeera yang bertajuk “Syariah dan Kehidupan”. Di dalam buku ini pun ada fatwa mengenai masalah ini.
                   Yang jelas,  rintangan kita terhadap ajaran Syi’ah tetap ada, dan sikap kita tidak berubah terhadap pokok-pokok ajaran mereka. Demikian pula sikap saya tetap tegas menolak segala bentuk penyebaran ajaran Syi’ah ke tengah-tengah Ahlu Sunnah !
    3. Kelompok Pertengahan

    Di antara kedua kelompok yang telah disebutkan, ternyata ada satu kelompok yang sederhana. Kelompok ini hanya bertentangan dengan Syi’ah dari sudut keyakinan dan pokok-pokok ajaran mereka dan juga tingkah laku serta slogan ciri khas mereka. Misalnya ada tiga syahadat di dalam azan mereka atau peringatan wafatnya Husein di hari Asyura setiap tahunnya. Padahal yang diajarkan di dalam As-Sunnah bahawa kita tidak boleh bertakziyah setelah tiga hari sejak wafatnya seseorang. Akan tetapi kelompok ini tidak sampai mengkafirkan Syi’ah dengan kufur yang nyata dan besar, kecuali untuk beberapa hal yang tidak mampu ditakwil dan dihukumi kafir untuk pelakunya.
    Kedudukan kita adalah bergabung dengan kelompok yang tidak mengkafirkan Syi’ah ini secara mutlak. Namun, kelompok pertengahan ini berbeza pandangan secara tajam dengan Syi’ah di beberapa masalah utama, di antaranya:


    1. Sikap Syi’ah terhadap Al-Qur`an.

                   Sikap mereka terhadap Al-Qur`an seperti yang telah saya jelaskan berulang-ulang kali bahwa mereka tetap percaya dengan Al-Qur`an yang kita hafal. Mereka berkeyakinan bahawa Al-Qur`an adalah firman Allah SWT. Mushaf yang dicetak di Iran dengan mushaf yang dicetak di Mekah, Madinah dan Kaherah adalah sama. Al-Qur`an ini dihafal oleh anak-anak Iran di sekolah-sekolah agama (madrasah) di sana. Para ulama Iran juga mengutip dalil-dalil Al-Qur`an di dalam masalah pokok-pokok dan furu' di dalam ajaran Syi’ah yang telah ditafsirkan oleh para ulama mereka di dalam kitab-kitabnya. Namun masih tetap ada di antara mereka yang berkata, “Sesungguhnya Al-Qur`an ini tidak lengkap. Kerana ada beberapa surah dan ayat yang dihilangkan dan akan dibawa oleh Al-Mahdi pada saat dia muncul dari persembunyiannya.”
                   Mungkin saja sebagian besar ulama mereka tidak mempercayai hal sebegini. Sayangnya mereka tidak mengafirkan orang yang telah mengatakan hal di atas. Inilah sikap yang sangat berbeza dengan sikap Ahlu Sunnah, iaitu barangsiapa yang meyakini telah terjadi penambahan dan pengurangan terhadap Al-Qur`an, maka dengan tidak ragu lagi, kami akan cap dia sebagai orang kafir !
                 Padahal keyakinan seperti ini terdapat di dalam kitab-kitab rujukan mereka, seperti Al-Kaafiy yang sebanding dengan kitab Shahih Al-Bukhari bagi Ahlu Sunnah. Kitab ini telah dicetak dan diterjemahkan lalu diedarkan ke seluruh dunia tanpa ada penjelasan apa-apa di dalamnya. Ada pepatah rakyat, “Orang yang diam terhadap kebatilan, sama dengan orang yang membicarakannya.”
    2. Sikap Syi’ah terhadap As-Sunnah       

                   Definisi As-Sunnah menurut Ahlu Sunnah adalah sunnah Rasulullah SAW yang telah dimaksum oleh Allah SWT dan Dia perintahkan umat Islam untuk mentaati baginda di samping taat kepada-Nya.
                   Allah SWT berfirman, “Katakanlah, “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul (Muhammad) itu hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu hanyalah apa yang dibebankan kepadamu. Jika kamu taat kepadanya, nescaya kamu mendapat petunjuk,” (QS An-Nur [24]: 54). dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat,” (QS An-Nur [24]: 56). Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeza pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya),” (QS An-Nisa [04]: 59).“Katakanlah (Muhammad), “Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahawa Allah tidak menyukai orang-orang kafir,” (QS Ali Imran [03]: 32). “Barangsiapa mentaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka,” (QS An-Nisa [04]: 80). “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (QS An-Najm [53]: 3-4) dan ayat-ayat yang lainnya.
    Akan tetapi batasan As-Sunnah menurut Syi’ah adalah sunnah Rasulullah SAW dan para imam mereka yang maksum. Maksudnya, sunnah mencakup bukan hanya sunnah Rasulullah SAW melainkan juga sunnah kedua belas imam mereka. Imam mereka yang 12 orang tersebut wajib ditaati sebagaimana taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya yang dikuatkan dengan wahyu. Mereka telah menambahkan perintah Al-Qur`an untuk taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya iaitu agar taat kepada makhluk yang Allah SWT sendiri tidak memerintahkannya. Lebih dari itu, kita mengkritik Syi’ah kerana telah meriwayatkan sunnah dari orang-orang yang tidak tsiqah (terpercaya) kerana tidak memenuhi unsur keadilan dan kesempurnaan hafalan.

                   Oleh kerana itu, kitab-kitab rujukan Ahlu Sunnah tidak diterima oleh mereka. Mereka tidak mau menerima kitab Shahih Bukhari, Muslim dan kutub sittah lainnya, tidak mau menerima kitab Al-Muwatha, Musnad Ahmad dan kitab-kitab yang lainnya.


    3. Sikap Syi’ah terhadap Para Sahabat

                   Pandangan negatif mereka terhadap para sahabat merupakan pokok dan dasar ajaran Syi’ah. Sikap mereka itu adalah terbit dari pokok ajaran mereka yang meyakini bahawa, Rasulullah SAW telah berwasiat jika baginda wafat, maka Ali bin Abi Thalib adalah pengganti baginda. Akan tetapi para sahabat menyembunyikan wasiat ini dan mereka merampas hak Ali ini secara zalim dan terang-terangan. Para sahabat telah khianat terhadap Rasulullah SAW yang menjadi wasilah mereka mendapatkan petunjuk dan mereka hidup di zaman baginda untuk menolongnya walaupun dengan nyawa dan segala yang mereka miliki.
    Yang menghairankan, apakah mungkin para sahabat bersekongkol untuk melakukan hal ini, sementara Ali RA –sang pemberani- hanya mampu diam saja tanpa berani mengumumkan haknya ini. Justeru Ali malah ikut membai'ah Abu Bakar, Umar dan kemudian Usman. Ali tidak berkata walau kepada salah seorang dari mereka itu, ”Sesungguhnya aku mempunyai wasiat dari Rasulullah SAW. Akan tetapi, mengapa kalian bersikap seolah-olah tidak tahu? Mengapa kalian hanya bermusyawarah dengan enam orang saja dan kalian menyibukkan diri kalian sendiri? Siapakah orangnya yang harus memilih sedangkan umat Islam telah menetapkan hal ini dengan wasiat Rasulullah SAW?” Mengapa Ali tidak mau menjelaskan hal ini? Kemudian, jika memang Al-Hasan bin Ali benar-benar telah tercatat sebagai khalifah setelah Ali kerana ada wasiat Rasulullah SAW, tapi mengapa justeru Al-Hasan mengalah dan memberikan jawatan khalifah ini kepada Muawiyah? Mengapa Al-Hasan melakukan hal ini, padahal ini merupakan perintah dari Allah SWT? Dan mengapa justeru Rasulullah SAW di dalam hadisnya (hadis ramalan Rasulullah SAW) memuji sikap Al-Hasan ini ?
    Pertanyaan ini tidak mampu dijawab sama sekali oleh mereka !

                   Inilah tuduhan palsu mereka terhadap para sahabat yang tidak terbukti. Keterangan mereka ini sangat bertentangan dengan keterangan yang Allah SWT sebutkan di dalam beberapa surat Al-Qur`an. Seperti di akhir surat Al-Anfal, surat At-Taubah, surat Al-Fath di pertengahan di akhirnya, surat Al-Hasyr dan surat-surat lainnya.
                   Demikian pula As-Sunnah telah memuji para sahabat baik secara umum maupun secara khusus. Juga zaman mereka itu dianggap sebagai sebaik-baik zaman setelah Rasulullah SAW.
                Juga apa yang dicatat oleh sejarah tentang mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah menghafal Al-Qur`an dan dari mereka lah umat menukilnya. Mereka juga adalah orang-orang yang telah menukil As-Sunnah dan menyampaikan apa yang mereka nukil dari Rasulullah SAW baik perkataan, perbuatan maupun persetujuan beliau kepada umat ini.
                   Mereka juga adalah orang-orang yang telah melakukan futuh (pembebasan negeri lain dengan damai) dan membimbing umat ini menuju tauhid Allah SWT dan risalah Islam. Mereka juga telah mempersembahkan kepada bangsa-bangsa yang dibebaskannya contoh-contoh teladan Qur’ani yang dijadikan sebagai petunjuk.
    4. Imamah Ali dan keturunannya yang berjumlah 12 imam merupakan pokok ajaran mereka. Barangsiapa yang menolak, maka dia dicap kafir.

                   Di antara masalah akidah Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyah yang bertentangan dengan Ahlu Sunnah adalah, keyakinan Syi’ah bahawa kepemimpinan Ali dan keturunannya dari garis Husein merupakan pokok-pokok keimanan, seperti beriman kepada Allah SWT, beriman kepada para malaikat-Nya, beriman kepada kitab-kitab-Nya, beriman kepada para rasul-Nya dan beriman kepada hari akhirat. Tidak sah dan tidak akan diterima oleh Allah SWT iman seorang muslim, jika dia tidak beriman bahwa Ali adalah khalifah yang ditunjuk oleh Allah SWT. Demikian juga halnya dengan 11 imam keturunan Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa yang berani menolak hal ini atau meragukannya, maka dia adalah kafir yang akan kekal di neraka. Seperti inilah riwayat-riwayat yang tercantum di dalam Al-Kaafiy dan kitab-kitab lainnya yang mengupas masalah akidah mereka.
                   Atas dasar inilah, sebahagian besar kaum Syi’ah mengkafirkan Ahlu Sunnah secara umum. Hal ini dikeranakan akidah Ahlu Sunnah berbeza dengan akidah mereka (Syi’ah). Bahkan Ahlu Sunnah tidak mengakui akidah seperti ini dan menganggap bahwa akidah ini adalah batil dan dusta atas nama Allah SWT dan rasul-Nya.
    Bahkan Syi’ah juga mengkafirkan para sahabat yang tidak mengakui imamah Ali RA. Mereka juga mengkafirkan tiga orang khulafa rasyidin sebelum Ali iaitu Abu Bakar, Umar dan Usman dan para sahabat lain yang mendukung ketiga orang khalifah ini. Kita ketahui bahawa semua para sahabat telah meredhai tiga khulafa rasyidin, termasuk Ali bin Abi Thalib yang pada saat itu Ali lah orang terakhir membai'ah Abu Bakar. Kemudian Ali berkata,”Sesungguhnya kami tidak mengingkari keutamaan dan kedudukan anda wahai Abu Bakar. Akan tetapi kami dalam hal ini mempunyai hak kerana kami adalah kerabat (keluarga) Rasulullah SAW.” Akan tetapi Ali tidak menyebutkan bahawa dia mempunyai nas wasiat dari Allah SWT dan Rasul-Nya.

                   Sedangkan kami Ahlu Sunnah menganggap bahawa masalah imamah dan yang berkaitan dengannya termasuk ke dalam furu’ dan bukan termasuk pokok-pokok akidah Islam. Masalah ini lebih baik dikaji di dalam kitab-kitab fiqh dan muamalah dan bukan dikaji di dalam kitab-kitab akidah dan pokok-pokok agama. Walaupun dengan sangat terpaksa para ulama Ahlu Sunnah membicarakan masalah ini di dalam kitab-kitab akidah untuk membantah seluruh ajaran Syi’ah di dalam masalah ini.
                   Syaikh Muhammad ‘Arfah seorang anggota Lembaga Ulama Kanan Al-Azhar pada zamannya telah menukil dari kitab-kitab akidah milik Syi’ah Imammiyah Itsna ’Asyariyyah sebagai penguat apa yang kami ucapkan tentang mereka. Beliau berkata :

    ”Jika kita mau mengkaji kitab-kitab akidah milik orang-orang Syi’ah, maka kita akan menemukan adanya kesesuaian atas riwayat-riwayat yang mereka sampaikan. Kita pun mampu langsung menukil ajaran mereka yang kita anggap sebagai ajaran yang sangat berbahaya iaitu masalah imamah, ajaran mengkafirkan para sahabat dan tiga orang khulafa rasyidin. Mereka terus mengkafirkan kaum muslimin sejak Rasulullah SAW wafat sampai hari ini. Hal ini disebabkan kaum muslimin tidak pernah mengakui imamah Ali dan 12 imam mereka. Hal ini seperti yang kami kutip dari penghulu ahli hadis Abi Ja’far Ash-Shaduq Muhammad bin Ali bin Husein bin Babwaih Al-Qummi yang meninggal dunia pada tahun 381 Hijriyah yang merupakan ahli hadis kedua dari tiga ahli hadis (Syi’ah) , di mana dia juga adalah pengarang kitab yang berjudul, Man La Yahdhuruhul Faqih, salah satu kitab dari empat kitab rujukan Syi’ah di dalam masalah pokok-pokok ajaran mereka. Dia berkata, ”Kami berkeyakinan pada orang-orang yang menolak imamah Ali bin Abi Thalib dan seluruh imam setelah baginda adalah seperti orang-orang yang menolak nubuwah (kenabian) para nabi. Kami juga berkeyakinan bahawa orang-orang yang mengakui imamah Ali dan menolak satu dari imam setelah Ali adalah seperti orang-orang yang mengakui/beriman kepada para nabi akan tetapi mereka menolak Nabi Muhammad SAW.”  Dia juga berkata di dalam Risalat Al-I’tiqadat, bahawasanya Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang menolak imamah Ali setelah aku (Rasulullah SAW), ertinya dia telah menolak kenabianku dan barangsiapa yang menolak kenabianku, ertinya dia telah menolak rububiyah Allah SWT.”

    Rasulullah SAW telah bersabda, ”Wahai Ali, Sesungguhnya kelak setelah aku wafat, engkau itu akan dizalimi. Barangsiapa yang menzalimimu, sama dengan dia telah menzalimi aku; barangsiapa yang bersikap adil terhadapmu, sama dengan dia telah bersikap adil terhadap aku; dan barangsiapa yang menolakmu, sama dengan menolak aku.”
                   Imam Shadiq AS berkata, ”Orang yang menolak imam terakhir kami, sama dengan menolak imam pertama kami.”
                   Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Para imam setelah aku ini ada berjumlah dua belas orang. Imam yang pertama adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS, dan imam yang terakhir adalah Al-Mahdi. Menaati mereka sama dengan menaati aku dan bermaksiat kepada mereka sama dengan bermaksiat kepada aku. Barangsiapa yang menolak salah seorang dari mereka, sama dengan menolak aku.” Imam Shadiq berkata, ”Barangsiapa yang meragukan tentang kekufuran musuh-musuh kami dan sikap zhalim mereka terhadap kami, maka dia dianggap telah kafir.”[1]

    5. Dakwaan Wasiat dari Rasulullah SAW untuk Ali
                   Dakwaan adanya wasiat dari Rasulullah SAW untuk Ali menjadi khalifah setelah baginda wafat –seperti keyakinan Syi’ah- sungguh telah merampas hak kaum muslimin untuk memilih pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Itulah wujud pengamalan terhadap perintah musyawarah yang telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai ciri khas kaum muslimin, ”Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka,” (QS Asy-Syura [42]: 38).
                   Seolah-olah dengan adanya wasiat itu, umat Islam terbelakang selamanya, sehingga Allah SWT harus menentukan siapa orangnya yang berhak mengurusi dan memimpin umat Islam. Juga diharuskan orang yang memimpin umat Islam ini datang dari rumah tertentu dan dari keturunan tertentu dari keluarga rumah ini. Padahal semua manusia adalah sama. Yang jelas bahwa yang berhak memimpin umat Islam adalah orang yang diterima (diredhai) oleh umat Islam dan dia mampu untuk memikul amanah ini dan menakhodai umat ini.
                   Saya yakin jika Negara Islam yang dipersepsikan oleh Ahlu Sunnah adalah bentuk Negara Islam ideal yang telah digambarkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah yang sahih. -Maka- ianya sangat sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat dunia pada saat ini bahawa rakyat berhak menentukan nasibnya sendiri, tidak menganut teori negara Teokrasi atau sebuah sistem yang mana negara dikuasai oleh pemerintahan berasaskan agama (tertentu) atas nama Pemerintahan Langit yang membelenggu leher masyarakat dan hati nurani mereka. -Seolah-olah- semua lapisan masyarakat tidak berkuasa atas diri mereka sendiri kecuali harus mengatakan, ”Kami mendengar dan kami taat!”
    Keyakinan Syi’ah ini dibantah oleh takdir Allah, di mana Imam yang ke-12 mereka sedang bersembunyi, seperti yang mereka yakini. Akhirnya, umat manusia ditinggalkan tanpa imam maksum lebih dari 11 abad. Bagaimana mungkin Allah SWT akan membiarkan umat manusia tanpa imam yang akan membimbing mereka? Ternyata mereka (orang-orang Syi’ah) berkata, ”Kami masih mempunyai Al-Qur`an dan As-Sunnah untuk membimbing kami !”. ketahuilah justeru kami (Ahlu Sunnah) sejak dahulu sudah menyatakan hal ini.

    6. Superioriti 
    Kelompok Tertentu atas Seluruh UmatManusia
                   Keyakinan orang-orang Syi’ah dibangun atas dasar rasa superioriti (penguasaan/merasa paling lebih) dari seluruh makhluk Allah SWT.  Mereka merasa mempunyai kurnia yang sangat besar jika dilihat dari penciptaannya. Mereka ini berhak untuk mengatur orang lain walaupun mereka tidak memilihnya. Hal ini dikeranakan telah menjadi keputusan langit.

    Pemikiran seperti ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam secara umum. Hal ini disebabkan seluruh manusia adalah sama seperti deretan -mata- sikat. Hanya ada satu Rabb bagi seluruh umat manusia dan memiliki nenek moyang yang sama iaitu Adam AS. Mereka semua diciptakan dari bahan yang sama, iaitu sperma. Oleh kerana itu, tidak ada rasa superioriti seorang manusia atas manusia yang lain kecuali dengan taqwanya. Hal ini seperti yang telah dijelaskan di dalam Al-Qur`an, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti,” (QS Al-Hujurat [49]: 13).

    Sesungguhnya manusia itu diutamakan atas yang lainnya hanya kerana amal perbuatan, dan bukan kerana faktor keturunan. Sebab siapa yang amalnya lambat, maka nasabnya tidak akan mempercepat langkahnya meraih redha-Nya. Allah SWT berfirman,”Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu (hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya,” (QS Al-Mu`minun [23]: 101). Kemudian Allah SWT menyebutkan bahwa yang akan menghukumi umat manusia di hari Kiamat adalah Al-Mizan yang tidak akan menzalimi seorang pun. Manusia lah yang memilih para pemimpin dalam bingkai musyawarah. Manusia berbai'ah kepada para pemimpin dengan syarat jangan melanggar batasan-batasan Allah SWT dan hak-hak manusia.

    Hanya Rasulullah SAW saja satu-satunya orang yang dipilih oleh wahyu, ”Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya,” (QS Al-An’am [06]: 124). Selain beliau, hanya manusia biasa dan tidak dipilih oleh wahyu.

                   Kemudian kenyataan sejarah menunjukkan bahawa orang-orang yang mengaku berhak menduduki sesuatu jawatan pemerintahan atas dasar nas (Al-Qur`an/As-Sunnah), ternyata mereka itu tidak menduduki jawatan apa-apa. Justeru mereka hidup seperti manusia pada umumnya (rakyat biasa), mendapatkan persamaan di dalam hukum. Kecuali Ali bin Abi Thalib yang dibai'ah oleh kaum muslimin menjadi khalifah. Kerana jika dilihat dari sisi keilmuan, beberapa imam ‘maksum’ keturunan Ali tidak dikenal sebagai orang yang unggul kecerdasannya dan layak menjadi imam. Namun ada sebagian dari keturunan Ali termasuk ke dalam tokoh besar di bidang fiqh, seperti Muhammad Al-Baqir dan Ja’far Ash-Shadiq seperti imam-imam fiqh lainnya.

    7.  Penyebaran Bid’ah di Kalangan Syi’ah

                   Di antara yang harus diperhatikan dari Syi’ah iaitu terjadinya penyebaran bid’ah yang mengandung kemusyrikan di kalangan para pengikut Syi’ah. Mereka menyembah kuburan dan situs-situs para imam dan syaikh mereka. Mereka berani bersujud ke kuburan, meminta pertolongan kepada ahli kubur dan berdoa meminta kebaikan untuk para peziarahnya dan supaya terbebas dari segala macam marabahaya. Menurut mereka bahawa para ahli kubur tersebut mampu mendatangkan manfaat dan mudarat, mampu membuat seseorang itu miskin dan kaya serta mampu membuat seseorang senang maupun sengsara.
    Saya (Syaikh Yusuf Al-Qardhawi) pernah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana para penziarah kuburan Imam Ridha bersujud sambil merangkak ke arah kuburan beliau dari jarak sepuluh meter. Tentu hal ini boleh terjadi disebabkan kerelaan dan anjuran dari para ulama Syi’ah.

                   Hal ini berbeza dengan perilaku orang-orang awam Ahlu Sunnah pada saat mereka melakukan ziarah ke kuburan para wali dan Ahlul Bait yang terdapat perilaku menyimpang dan bid’ah. Akan tetapi, perilaku ini ditolak keras oleh para ulama Ahlu Sunnah. Inilah perbezaan yang mendasar antara kami (para ulama Ahlu Sunnah) dengan mereka (para ulama Syi’ah). Iaitu para ulama Ahlu Sunnah mengecam perilaku munkar yang dilakukan oleh orang-orang awam. Bahkan ada sebagian para ulama Ahlu Sunnah yang mengkafirkan perilaku orang-orang awam ini! Akan tetapi perilaku munkar dan syirik yang dilakukan oleh orang-orang awam Syi’ah adalah diredhai dan mendapat dukungan dari para ulama mereka.

    8. Syi’ah Melakukan Penyelewengan Sejarah  
                   Sesungguhnya Syi’ah telah memburuk-burukkan para sahabat, tabiin, dan para pengikut mereka. Juga mereka berani mengubah alur sejarah umat Islam sejak zaman yang paling baik (zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya dan generasi setelah ini). Iaitu zaman terjadinya futuh (pembebasan negeri dengan cara damai) dan kemenangan gilang gemilang serta berbondong-bondongnya umat manusia masuk Islam. Juga terbangunnya kebudayaan yang mengacu kepada ilmu pengetahuan, iman dan akhlaq juga umat Islam ini mempunyai sejarah yang sangat gemilang. Sekarang umat Islam mencuba untuk bangkit kembali dengan cara berkaca kepada sejarahnya, menyambungkan masa sekarang dengan zaman dahulu. Menjadikan kemuliaan para pendahulu umat Islam sebagai tokoh untuk mendorong generasi muda kini untuk maju dan jaya.  
                   Sedangkan sejarah orang-orang Syi’ah dipenuhi dengan kegelapan. Inilah yang mendorong saya untuk menulis sebuah buku dengan judul, Sejarah Kita Yang Diselewengkan. Buku ini mengupas sejarah yang benar dan membantah seluruh tuduhan busuk orang-orang Syi’ah. Buku saya ini membuat orang-orang Syi’ah gerah (rimas). Kemudian salah seorang Syi’ah menulis sebuah buku membantah buku saya ini. Dia berkata, ”Yusuf Al-Qardhawi ini wakil Allah SWT atau wakil Bani Umayyah ?”[2]

    9. Ajaran Taqiyyah
                   Di antara ajaran Syi’ah yang menyangkut akhlaq adalah menjadikan Taqiyyah sebagai dasar dan pokok ajaran di dalam berinteraksi (bermuamalah) dengan orang lain. Mereka selalu melakukan Taqiyyah, iaitu menampakkan sesuatu yang berbeza dengan yang ada di dalam hati. Mereka itu mempunyai dua wajah. Wajah yang pertama dihadapkan ke sekelompok orang dan wajah yang lainnya dihadapkan ke kelompok yang satunya lagi. Mereka juga mempunyai dua lidah.
                   Mereka berdalih dengan firman Allah SWT, ”Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka,” (QS Ali Imran [03]: 28). Akan tetapi, dengan sangat jelas ayat menerangkan bahawa dibolehkannya Taqiyyah adalah pada saat darurat yang memaksa seorang muslim harus melakukan hal ini (Taqiyyah) kerana takut dibunuh atau ada bahaya besar yang mengancamnya. Keadaan seperti ini masuk ke dalam pengecualian, seperti firman Allah SWT, ”Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman,” (QS An-Nahl [16]: 106).
                   Pengecualian ini tidak boleh dijadikan sebagai acuan di dalam bermuamalah. Hal ini (Taqiyyah) boleh dilakukan pada saat darurat, yang mana keadaan darurat mampu menghalalkan sesuatu yang terlarang. Akan tetapi tetap harus dinilai secara cermat. Untuk orang lain yang tidak terpaksa, tidak boleh melakukan hal ini. Kerana sesuatu yang terjadi atas dasar pengecualian tidak boleh dikiaskan.

                   Akan tetapi Syi’ah Imamiyah menjadikan Taqiyyah ini sebagai dasar di dalam muamalah mereka kerana para imam mereka membolehkan hal tersebut. Dari Ja’far Ash-Shadiq bahawasanya dia telah berkata ”Taqiyyah adalah agamaku dan agama leluhurku.” Ibnu Taimiyyah memberi komentar ucapan ini dengan katanya, ”Allah SWT telah menyucikan Ahlul Bait dari hal ini dan mereka tidak memerlukan Taqiyyah. Kerana mereka adalah orang-orang yang paling jujur dan paling beriman. Oleh kerana itu, agama mereka adalah 
    Taqwa dan bukan Taqiyyah.”  [3]

    Pendapat Para Ulama Kanan Al-Azhar Berkenaan Syi’ah ...
    (bersambung pada siri akan datang, in-syaAllaah.)

    Sumber asal : Buku berbahasa Arab, karya Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dengan judul 
    Fataawaa Mu’aasharah (Fatwa-fatwa Kontemporeri), juz 4, Darul Qalam Kuwait, hal. 275-298.

    Penerjemah (1) Ke Bahasa Indonesia : Dudung Ramdani, Lc  (Staf LLPI Jakarta)
    Penerjemah (2) Ke Bahasa Malaysia : 'TM
    ______________
    [1] Sedangkan semua ini adalah hadis-hadis palsu yang dibuat oleh mereka sendiri !
    [2] Buku ini ditulis oleh seorang Syi’ah asal Mesir yang bernama Dr. Ahmad Rasim An-Nafis.
    [3] Lihat kitab Al-Muntaqa min Minhajil I’tidal, karya Imam Adz-Dzahabi hal. 68.